Kafe Djendelo Koffie masih sama seperti terakhir kali
aku ke sana bersama Elen. Meja-meja kayu, lantai papan, kursi bambu, dan tempat
lesehan yang menjadi spot favorit kita. Aroma yang khas selalu tercium setiap
kaki melangkah masuk ke Djendelo Koffie; kadang aroma kopi, kadang aroma
cokelat, kadang aroma keduanya bercampur dan melayang-layang di udara
Perempatan Condong Catur dan Jalan Gejayan, Djendelo
Koffie terletak di lantai atas toko buku Toga Mas. Toga Mas dan Djendelo Koffie
dihubungkan dengan tangga yang juga dari kayu, memberi kesan sederhana, cocok
dengan selera remaja yang tak begitu berminat untuk nongkrong sambil minum kopi
di kafe yang ber-setting mewah dan elite. Suasananya pun nyaman, itulah pula
yang menjadi alasan Aku menghabiskan waktu di sini.
Pukul dua siang. Aku sedang menenangkan diri sambil
mempersiapkan diri untuk lomba fotografi di Braga. Di layar ponsel, aku membuka
beberapa website tentang tempat-tempat bagus untuk di foto. Mata berputar dari
satu teks ke teks lain di ponsel yang berlayar cukup lebar.
Aku melempar pandangan ke sudut Djendelo yang lain.
Aku melihat seorang laki-laki tampak serius berkutat dengan laptopnya. Di
mejanya, terletak beberapa buku yang sedikit berantakan. Laki-laki itu tampak
seusia Joe. Rambutnya hitam dan sedikit bergelombang. Alisnya tebal, tidak
seperti Joe, alis Joe agak tipis. Dagunya agak lancip. Matanya, lebih bulat dan
hitam dari Joe, matanya sedikit coklat.
Sesekali, aku melihat laki-laki itu tersenyum-senyum
sendiri saat memegang ponselnya, mungkin sedang berkirim pesan dengan
seseorang. Senyum laki-laki itu manis. Entah sejak kapan aku mulai
memperhatikannya.
Ponselku berbunyi. Telepon dari Joe. Nada dering
ponsel itu masih sama seperti dulu. Seperti saat aku masih bisa tersenyum
mendengar nada dering itu. Nada dering itu, lagu kesukaan seseorang. Seseorang
yang ku sayang.
Seseorang yang takkan ada selamanya untukku.
“Halo. Kenapa, Joe?”
“Cha, kamu dimana? Ini Kakak Tony.”
Aku mengernyitkan dahi.
“Oh, aku ada di kafe Djendelo. Memangnya ada apa ka?
Kok handphone Joe ada sama kakak?”
“Ini soal Joe, cha.”
“Hah?” aku kaget.
“Joe barusan kecelakaan.”
“Hah?” aku panik.
“Kakak kebetulan lagi di dekat rumah sakitnya, polisi
bilang udah ngehubungin kamu, tapi handphone kamu gak aktif,” jelas Ka Tony.
“Handphone kakak juga lagi sekarat.”
“Iyah, tadi handphone sempat aku matiin bentar. Di
rumah sakit mana?”
“Rumah Sakit Boromeus..”
“Oh... aku langsung kesana ka.”
Aku menutup telepon dan keluar dari Djendelo dengan
setengan berlari. Aku meninggalkan yang di meja dan membiarkan kopinya belum
diminum sama sekali.
“De, De...!”
Ada suara perempuan memanggil dari arah belakang aku, membuat aku
menoleh.
“Ini kunci motor ade, ya. Ketinggalan di meja tadi.”
Kata perempuan itu.
“Oh...” Aku sedikit kaget, dan bersyukur. Kebiasaan
buruk, pelupa. Dan anehnya yang dilupakan selalu barang-barang penting: kunci
motor, laptop, ponsel. “Makasih ya, Mbak. Makasih banget,” ujarku buru-buru.
Yang diberi ucapan hanya tersenyum, lalu membalikkan
badan dan berjalan kembali masuk ke kafe.
Aku melangkah masuk ke Kafe Ngopi Doloe. Aku terenyak
sesaat karena tempat ini dulu adalah tempat Aku dan Joe bersama. Aku tak pernah
bisa bersahabat dengan tempat ini, dan sejak Joe meninggal, Aku semakin
membenci tempat ini jika terpaksa masuk ke Kafe ini.
Elen menyenggol aku dengan lengannya.
Ingatan tentang Joe yang seketika melintas membuatku tak
dapat menghindari ingatan tentang Joe. Aku ingat, saat pertama kali bertemu
dengan nya di sini. Saat Dia memintaku menjadi pacarnya. Dan segala
kenangan-kenangan tentang Dia berada di Kafe ini.
“Udah ayo masuk, jangan ngelamun aja.”
Lagu yang selalu membawa bayangan laki-laki itu
kembali ke kepalanya. Kembali terbayang di
matanya.
When you try your best but don’t succeed
When you get what you want but not what you need
When you feel so tired but you can’t sleep
Stuck in reverse
Masa lalu tak seharusnya kembali, dan memang tak
sepantasnya kembali. Aku sudah membuang jauh bayangan Joe dan sama sekali tak
berminat memungutnya lagi. Sesuatu yang dibuang adalah sesuatu yang tak lagi
berguna. Banyak hal bisa didaur ulang memang, tetapi itu bukan cinta. Biarlah
yang indah cukup kekal sebagai hal yang sudah jauh terlewati dan tak perlu
dikunjungi lagi.
Aku tak bisa memungkiri Aku masih sering teringat Joe.
Tidak sekadar teringat, tetapi memikirkan. Bagaimana mingkin tiga tahun
hubungan perasaan bisa menghilang begitu saja. Apalagi kenangan yang
menyertainya, tak mungkin akan terhapuskan, pun terganti, dengan peristiwa
indah yang lain sekalipun.
Meski luka dan rasa kecewa yang begitu besar, rasa sayang itu maish utuh. Terlalu
dalam ia merasa kehilangan, tetapi terlalu besar arti laki-laki itu bagiku.
Terlampau banyak hal manis yang kami lalui bersama untuk dikubur dan dilupakan
begitu saja.
Semain dalam aku mengingat, semakin besar cinta itu.
And the tears come streaming down your face
When you lose something you can’t replace
Setelah selesai melamun, kemudian aku mengetik
sesuatu.
Aku memencet tombol sned. Setelah pesan itu terkirim,
aku memasukkan kembali ponsel ke dalam saku jeans, lalu memesan makanan dan
minuman.
Biasa, jika bersama Joe yang aku pesan hanyalah
minuman Blue Ocean dan salad buah. Salah buah adalah salah satu makanan favofit
nya di Kafe ini.
When you love someone but it goes to waste
Could it be worse?
Alam bawah sadar Aku masih bersahabat dengan laki-laki
itu. Tak ada tempat yang tak menyimpan kenangan bersama di Kafe ini.
Aku tak bisa mengelak.
Tempat yang sama, sudut yang sama, minuman yang sama.
Hanya saja kali ini tak ada kopi, juga suara tawa yang akrab di telinga. Tak
bisa meletakkan tangan di pahanya dan mencubit gemas perutnya. Tak dapat
bersandar dipundaknya dan memeluknya.
Namun, wangi parfum laki-laki itu seakan-akan
melayang-layang di udara. Aku terenyak, mencoba memikirkan pikiran itu. Datang
ketempat yang biasa ia datangi bersama Joe sudah cukup buruk untuk kesehatan
hatiku, tak perlu membiarkan pikiran ini mengawang jauh kembali membayangkan
laki-laki itu.
“WOY!”
Suara dan tepukan yang mendarat tiba-tiba di pundakku
membuyarkan lamunan.
“Kenapa kau? Pasti ngelamunin jorok.” Elen melepas
sepatu dan duduk di sisi meja lain. Ada sudut kafe itu yang berbentuk lesehan,
menjadi favorit Aku, juga favoritnya Joe.
“Kambing.” Aku menggerutu.
Elen tertawa. Diletakkannya tas kecilnya, lalu
melihat-lihat buku menu, membolak-baliknya.
“Ngaku tadi abis mikirin apa hayo?” kata Elen sambil
memanggil pelayan untuk memesan menu.
“Ngaku aja. Sama adiknya sendiri pake bohong segala.”
Aku menegak minumanku hingga setengahnya.
“Muka kamu merah, tuh.”
“Hah masa?” Aku meraba-raba pipiku. “Ah, sialan kamu!”
“udah, ngaku aja kenapa sih?”
“Nggak. Sok tau kamu!” Aku masih bersikeras.
“Kamu tuh, jujur sama hati sendiri aja gak bisa.
Gimana mau jujur sama orang alin?” Elen bijak.
“Aduh, bijaknya adik aku satu ini. Kesurupan hantu
laut mana kamu, hah?”
Elen terkekeh-kekeh. Ditegaknya lagi minumanku.
Rasanya tentu aja kenyang, tetapi entah kenapa lebih terasa pahit yang
seharusnya terasa manis. Mungkin, suasana hati dan pikiran hari ini yang
mempengaruhi. Orang sedang kalut memang suka merasakan hal yang macam-macam.
“Udah kelamaan, ya, sama Joe? Elen seperti tau yang
aku pikirkan. “Berapa tahun? Tiga?”
Aku hanya terdiam.
“Tiga tahun sama Joe juga bermula dari satu hari
kenalan, Len.”
“Terus?”
“Ya, kamu mulai kenalan sama cowok lagi, donk.”
“Capek.”
“Cepat atau lambat juga, kamu pasti bakal punya
hubungan sama cowok baru kan?” tanya Elen. “Emang pengen gimana?”
Aku tak menjawab apa-apa.
“Ibarat ranting pohon patah, mau kamu sambung pake apa
juga gak bisa balik keadaannya kayak semula,” ujar Elen.
“Aku gak ada keinginan nyambungin ranting itu lagi,
kok, Len.”
“Lalu?”
“Aku kangen aja.”
“Hati-hati, tuh.”
“kenapa emang?”
“Kangen aja sama orang yang udah gak ada itu adalah
orang yang ingin cepat meninggal.” Elen mengejek.
Aku sedikit bisa tersenyum. Aku sendiri tak mengerti
apa arti senyuman yang tiba-tiba saja tersungging di bibirku. Apakah sekedar
karena terhibur oleh ejekan Elen, atau memang seketika Aku menyadari bahwa
diam-diam dalam hatiku aku juga ingin mencoba menjalani lagi hari-hari bersama
Joe.
Pikiranku yang sudah jalan-jalan ke masa-masa indah
dahulu saat masih bersama Joe tiba-tiba berhenti, berbelok, dan berjalan
merangkak ke sudut yang gelap. Area memori di mana peristiwa tidak menyenangkan
dan catatan-catatan tentang luka tersimpan.
“Aku cape harus kehilangan orang yang di cintai lagi.”
Aku menghela napas berat. “Tapi...”
“Tapi, apa?” tanya Elen. “Kamu gak bakal nemu yang
kayak dia lagi, ya?”
“Iya.”
Elen menahan tawanya.
“Kayak gak ada cowok lagi aja di sekitar kamu. Emang
mau terus gak punya cowok sampai nanti kamu nikah? Gak mau punya anak? Cucu
mungkin?”
Aku tertawa kecil. Elen memang penganut move on garis
keras. Namun, ia tak tahu, mengahapus perasaan yang sudah berjalan dan saling
terikat selama tiga tahun lebih sama sekali bukan hal yang mudah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar