Profil

Jumat, 24 Mei 2013

Masa Lalu

Kafe Djendelo Koffie masih sama seperti terakhir kali aku ke sana bersama Elen. Meja-meja kayu, lantai papan, kursi bambu, dan tempat lesehan yang menjadi spot favorit kita. Aroma yang khas selalu tercium setiap kaki melangkah masuk ke Djendelo Koffie; kadang aroma kopi, kadang aroma cokelat, kadang aroma keduanya bercampur dan melayang-layang di udara

Perempatan Condong Catur dan Jalan Gejayan, Djendelo Koffie terletak di lantai atas toko buku Toga Mas. Toga Mas dan Djendelo Koffie dihubungkan dengan tangga yang juga dari kayu, memberi kesan sederhana, cocok dengan selera remaja yang tak begitu berminat untuk nongkrong sambil minum kopi di kafe yang ber-setting mewah dan elite. Suasananya pun nyaman, itulah pula yang menjadi alasan Aku menghabiskan waktu di sini.

Pukul dua siang. Aku sedang menenangkan diri sambil mempersiapkan diri untuk lomba fotografi di Braga. Di layar ponsel, aku membuka beberapa website tentang tempat-tempat bagus untuk di foto. Mata berputar dari satu teks ke teks lain di ponsel yang berlayar cukup lebar.

Aku melempar pandangan ke sudut Djendelo yang lain. Aku melihat seorang laki-laki tampak serius berkutat dengan laptopnya. Di mejanya, terletak beberapa buku yang sedikit berantakan. Laki-laki itu tampak seusia Joe. Rambutnya hitam dan sedikit bergelombang. Alisnya tebal, tidak seperti Joe, alis Joe agak tipis. Dagunya agak lancip. Matanya, lebih bulat dan hitam dari Joe, matanya sedikit coklat.

Sesekali, aku melihat laki-laki itu tersenyum-senyum sendiri saat memegang ponselnya, mungkin sedang berkirim pesan dengan seseorang. Senyum laki-laki itu manis. Entah sejak kapan aku mulai memperhatikannya.

Ponselku berbunyi. Telepon dari Joe. Nada dering ponsel itu masih sama seperti dulu. Seperti saat aku masih bisa tersenyum mendengar nada dering itu. Nada dering itu, lagu kesukaan seseorang. Seseorang yang ku sayang.

Seseorang yang takkan ada selamanya untukku.

“Halo. Kenapa, Joe?”

“Cha, kamu dimana? Ini Kakak Tony.”

Aku mengernyitkan dahi.

“Oh, aku ada di kafe Djendelo. Memangnya ada apa ka? Kok handphone Joe ada sama kakak?”

“Ini soal Joe, cha.”

“Hah?” aku kaget.

“Joe barusan kecelakaan.”

“Hah?” aku panik.

“Kakak kebetulan lagi di dekat rumah sakitnya, polisi bilang udah ngehubungin kamu, tapi handphone kamu gak aktif,” jelas Ka Tony. “Handphone kakak juga lagi sekarat.”

“Iyah, tadi handphone sempat aku matiin bentar. Di rumah sakit mana?”

“Rumah Sakit Boromeus..”

“Oh... aku langsung kesana ka.”

Aku menutup telepon dan keluar dari Djendelo dengan setengan berlari. Aku meninggalkan yang di meja dan membiarkan kopinya belum diminum sama sekali.

“De, De...!”  Ada suara perempuan memanggil dari arah belakang aku, membuat aku menoleh.

“Ini kunci motor ade, ya. Ketinggalan di meja tadi.” Kata perempuan itu.

“Oh...” Aku sedikit kaget, dan bersyukur. Kebiasaan buruk, pelupa. Dan anehnya yang dilupakan selalu barang-barang penting: kunci motor, laptop, ponsel. “Makasih ya, Mbak. Makasih banget,” ujarku buru-buru.

Yang diberi ucapan hanya tersenyum, lalu membalikkan badan dan berjalan kembali masuk ke kafe.

Aku melangkah masuk ke Kafe Ngopi Doloe. Aku terenyak sesaat karena tempat ini dulu adalah tempat Aku dan Joe bersama. Aku tak pernah bisa bersahabat dengan tempat ini, dan sejak Joe meninggal, Aku semakin membenci tempat ini jika terpaksa masuk ke Kafe ini.

Elen menyenggol aku dengan lengannya.

Ingatan tentang Joe yang seketika melintas membuatku tak dapat menghindari ingatan tentang Joe. Aku ingat, saat pertama kali bertemu dengan nya di sini. Saat Dia memintaku menjadi pacarnya. Dan segala kenangan-kenangan tentang Dia berada di Kafe ini.

“Udah ayo masuk, jangan ngelamun aja.”

Lagu yang selalu membawa bayangan laki-laki itu kembali ke kepalanya. Kembali terbayang di 
matanya.

When you try your best but don’t succeed
When you get what you want but not what you need
When you feel so tired but you can’t sleep
Stuck in reverse

Masa lalu tak seharusnya kembali, dan memang tak sepantasnya kembali. Aku sudah membuang jauh bayangan Joe dan sama sekali tak berminat memungutnya lagi. Sesuatu yang dibuang adalah sesuatu yang tak lagi berguna. Banyak hal bisa didaur ulang memang, tetapi itu bukan cinta. Biarlah yang indah cukup kekal sebagai hal yang sudah jauh terlewati dan tak perlu dikunjungi lagi.

Aku tak bisa memungkiri Aku masih sering teringat Joe. Tidak sekadar teringat, tetapi memikirkan. Bagaimana mingkin tiga tahun hubungan perasaan bisa menghilang begitu saja. Apalagi kenangan yang menyertainya, tak mungkin akan terhapuskan, pun terganti, dengan peristiwa indah yang lain sekalipun.
Meski luka dan rasa kecewa yang begitu  besar, rasa sayang itu maish utuh. Terlalu dalam ia merasa kehilangan, tetapi terlalu besar arti laki-laki itu bagiku. Terlampau banyak hal manis yang kami lalui bersama untuk dikubur dan dilupakan begitu saja.

Semain dalam aku mengingat, semakin besar cinta itu.

And the tears come streaming down your face
When you lose something you can’t replace

Setelah selesai melamun, kemudian aku mengetik sesuatu.

Aku memencet tombol sned. Setelah pesan itu terkirim, aku memasukkan kembali ponsel ke dalam saku jeans, lalu memesan makanan dan minuman.

Biasa, jika bersama Joe yang aku pesan hanyalah minuman Blue Ocean dan salad buah. Salah buah adalah salah satu makanan favofit nya di Kafe ini.

When you love someone but it goes to waste
Could it be worse?

Alam bawah sadar Aku masih bersahabat dengan laki-laki itu. Tak ada tempat yang tak menyimpan kenangan bersama di Kafe ini.

Aku tak bisa mengelak.

Tempat yang sama, sudut yang sama, minuman yang sama. Hanya saja kali ini tak ada kopi, juga suara tawa yang akrab di telinga. Tak bisa meletakkan tangan di pahanya dan mencubit gemas perutnya. Tak dapat bersandar dipundaknya dan memeluknya.

Namun, wangi parfum laki-laki itu seakan-akan melayang-layang di udara. Aku terenyak, mencoba memikirkan pikiran itu. Datang ketempat yang biasa ia datangi bersama Joe sudah cukup buruk untuk kesehatan hatiku, tak perlu membiarkan pikiran ini mengawang jauh kembali membayangkan laki-laki itu.

“WOY!”

Suara dan tepukan yang mendarat tiba-tiba di pundakku membuyarkan lamunan.

“Kenapa kau? Pasti ngelamunin jorok.” Elen melepas sepatu dan duduk di sisi meja lain. Ada sudut kafe itu yang berbentuk lesehan, menjadi favorit Aku, juga favoritnya Joe.

“Kambing.” Aku menggerutu.

Elen tertawa. Diletakkannya tas kecilnya, lalu melihat-lihat buku menu, membolak-baliknya.
“Ngaku tadi abis mikirin apa hayo?” kata Elen sambil memanggil pelayan untuk memesan menu.
“Ngaku aja. Sama adiknya sendiri pake bohong segala.”

Aku menegak minumanku hingga setengahnya.

“Muka kamu merah, tuh.”

“Hah masa?” Aku meraba-raba pipiku. “Ah, sialan kamu!”

“udah, ngaku aja kenapa sih?”

“Nggak. Sok tau kamu!” Aku masih bersikeras.

“Kamu tuh, jujur sama hati sendiri aja gak bisa. Gimana mau jujur sama orang alin?” Elen bijak.

“Aduh, bijaknya adik aku satu ini. Kesurupan hantu laut mana kamu, hah?”

Elen terkekeh-kekeh. Ditegaknya lagi minumanku. Rasanya tentu aja kenyang, tetapi entah kenapa lebih terasa pahit yang seharusnya terasa manis. Mungkin, suasana hati dan pikiran hari ini yang mempengaruhi. Orang sedang kalut memang suka merasakan hal yang macam-macam.

“Udah kelamaan, ya, sama Joe? Elen seperti tau yang aku pikirkan. “Berapa tahun? Tiga?”
Aku hanya terdiam.

“Tiga tahun sama Joe juga bermula dari satu hari kenalan, Len.”

“Terus?”

“Ya, kamu mulai kenalan sama cowok lagi, donk.”

“Capek.”

“Cepat atau lambat juga, kamu pasti bakal punya hubungan sama cowok baru kan?” tanya Elen. “Emang pengen gimana?”

Aku tak menjawab apa-apa.

“Ibarat ranting pohon patah, mau kamu sambung pake apa juga gak bisa balik keadaannya kayak semula,” ujar Elen.

“Aku gak ada keinginan nyambungin ranting itu lagi, kok, Len.”

“Lalu?”

“Aku kangen aja.”

“Hati-hati, tuh.”

“kenapa emang?”

“Kangen aja sama orang yang udah gak ada itu adalah orang yang ingin cepat meninggal.” Elen mengejek.

Aku sedikit bisa tersenyum. Aku sendiri tak mengerti apa arti senyuman yang tiba-tiba saja tersungging di bibirku. Apakah sekedar karena terhibur oleh ejekan Elen, atau memang seketika Aku menyadari bahwa diam-diam dalam hatiku aku juga ingin mencoba menjalani lagi hari-hari bersama Joe.

Pikiranku yang sudah jalan-jalan ke masa-masa indah dahulu saat masih bersama Joe tiba-tiba berhenti, berbelok, dan berjalan merangkak ke sudut yang gelap. Area memori di mana peristiwa tidak menyenangkan dan catatan-catatan tentang luka tersimpan.

“Aku cape harus kehilangan orang yang di cintai lagi.” Aku menghela napas berat.  “Tapi...”

“Tapi, apa?” tanya Elen. “Kamu gak bakal nemu yang kayak dia lagi, ya?”

“Iya.”

Elen menahan tawanya.

“Kayak gak ada cowok lagi aja di sekitar kamu. Emang mau terus gak punya cowok sampai nanti kamu nikah? Gak mau punya anak? Cucu mungkin?”

Aku tertawa kecil. Elen memang penganut move on garis keras. Namun, ia tak tahu, mengahapus perasaan yang sudah berjalan dan saling terikat selama tiga tahun lebih sama sekali bukan hal yang mudah.

Jumat, 17 Mei 2013

Happy Sweet Seventeen Reni Sulastri



Beberapa jam menuju jam 12 malam tanggal 18 Mei 2013 . . .

Tahukah kalian bahwa tanggal 18 Mei ada yang berulang tahun ke tujuh belas? Hahahah...

Rasanya beberapa hari sebelum menjelang tanggal 18 Mei sudah ada yang di bully, di jailin, di buat kepo, dan di buat takut... sebenernya semua itu cuman canda aja koq, nggak ada maksud apa-apa.. heheh :p

Waktu kita ber-enam menjalankan peran antagonis, semua nya nggak ada yang tega ngebuat lo marah-marah.. awalnya, gua kambing hitam di antara kalian semua.. tapi koq malah gua yang kena senjata tuan makan tuan.. >.<

Bingung mau ngasih kado apa jujur aja sih. Suka warna hijau, sifat setengah cewek setengah cowok tapi nggak tomboi... Bingunggg sih awalnya, tapi berhasil di temukan sebuah frame hijau dengan foto kita bertujuh tanpa sylvi..

Tanggal 18 Mei pasti gua upload semua deh foto sama video buatan kita ren!!
Hahahahah

Creat By :
Seven Friends

Sabtu, 11 Mei 2013

Jadi Mau LO Apa?



Salah gua apa coba?
Kenal? Nggak . . .
Pernah ngobrol? Nggak . . .
Pernah nyapa? Ya gua pernah meski nggak di liat kayak orang gila
Apa lagi coba?

Salah gua apa sampai lo ngelakuin kayak gitu ke gua?
Lo cemburu? Ngomong aja nanti gua jauhin
Lo bales dendam? Yang bermasalah aja nggak kenapa-kenapa
Lo iri? Kan tapi lo lebih dari gua kenapa iri?


Stop deh hey, kayak bocah tau...
Lo itu udah menang dari gua segala-segalanya, mau apalagi dari gua?
Dia udah gua kasih, udah gua jauhin, udah nggak gua bbm, ataupun sms
Sekarang mau lo apa? Ngomong donk di depan gua
Lo tuh kayak ngajak berantem tau nggak...

For : PF